“If you tremble with indignation at every injustice then you are a comrade of mine.”
KALIMAT itu terlontar dari mulut Ernesto ‘Che’ Guevara. Seorang revolusioner asal Argentina yang menjadi salah satu simbol perlawanan atas ketidakadilan.
Quotes pria kelahiran 14 Juni 1928 itu menginspirasi para aktivis di seluruh dunia, tak terkecuali Uba Ingan Sigalingging.
Uba menilai Che Guevara merupakan salah salah satu tokoh revolusioner yang mengilhami gerakan tentang pembebasan di berbagai belahan dunia.

Sosok yang lahir di Medan pada 1964 tersebut memiliki perjalanan hidup yang mirip dengan Che. Layaknya perjalanan el-Commandante mengelilingi Amerika Latin, Uba juga pernah melanglang ke berbagai kota.
Setahun setelah lulus Sekolah Menengah Musik (SMM) Negeri Medan, Uba memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Pelajar, Yogyakarta pada 1985.
Pendidikan tinggi yang diambil pun linier dengan sebelumnya, jurusan musik. Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi kawah candradimuka bagi Uba.
Selama di Yogyakarta, Uba tak hanya sekadar kuliah. Ia banyak bergaul dengan elemen pergerakan mahasiswa dan juga sosok-sosok pemikir.
Ia akrab dengan Brotoseno, salah tokoh sentral pergerakan mahasiswa di Yogyakarta pada era 80-an. Tak jarang, ia bergulat pemikiran dengan Romo Dick Hartoko, maupun dengan doktor musikologi lulusan Jerman, Liberty Manik atau yang dikenal dengan L Manik.
Namun demikian, Uba bukanlah mahasiswa yang rajin. Keasyikannya di dunia pergerakan dan bergaul dengan sejumlah tokoh di Kota Gudeg, membuatnya harus lulus 9 tahun.
“Tahun 1994 saya lulus dari ISI,” kata dia dalam sebuah perbincangan ringan di Batam, awal Desember 2023.
Selepas ditahbiskan menjadi sarjana seni (musik), Uba bergerak dari Yogyakarta ke Jakarta. Di ibukota, ia sempat ingin menjadi jurnalis, demi meneruskan kesukaannya menulis.
Ia lantas menghubungi Panda Nababan, bos majalah Forum yang masih ada jalinan kerabat dengan dirinya.
“Oleh bang Panda saya waktu ditanya latar belakang pendidikan, ya saya jawab saja, musik,” kata Uba.
Namun ternyata, latar belakang pendidikan seni itu rupanya kurang menarik perhatian jurnalis senior yang kini menjadi politikus itu. Hal ini disebabkan Majalah Forum yang dipimpin Panda Nababan saat itu,merupakan media yang fokus pada berita dan ulasan hukum.
“Saya disarankan untuk ke media lain dan dia (Panda Nababan) menelepon mas Eros Djarot dan August Parengkuan di depan saya,” kenangnya.
Impian Uba menjadi jurnalis pun akhirnya perlahan sirna. Ia kemudian kembali ke kampung halamannya pada 1996. Di kota terbesar Sumatera Utara itu, ia sempat menjadi dosen di Universitas HKBP Nomensen.
Aktivitas sebagai pendidik itu ia geluti selama 4 tahun. Hingga pada akhirnya tahun 2000, Uba memutuskan untuk merantau ke Batam.
Di kota industri itu, spirit Uba sebagai aktivis tak lekang. Bersama sejumlah rekannya, ia kerap menggelar forum diskusi yang dinamai Forum Kerja Budaya Batam.
“Kami bikin diskusi tentang kebudayaan pada 2002. Pernah juga mengundang budayawan Melayu, Hasan Yunus serta Ben Pasaribu, komponis sekaligus musikolog asal Medan. Lalu, pada tahun 2004 mengundang sastrawan sekaligus budayawan Putu Wijaya sempena “Refleksi Kebudayaan Tsunami di Aceh”, ujarnya.
Selain berdiskusi, Uba juga kerap menulis opini kebudayaan di berbagai surat kabar lokal. Lagi-lagi, tulisan yang dihasilkannya pun tak lepas dari pandangan Che Guevara soal kebudayaan, kesenjangan sosial yang juga Uba temukan di Batam.
Pemikiran-pemikiran Che yang menjunjung prinsip keadilan inilah, yang kemudian mengilhami Uba bersama dengan sejumlah rekannya untuk mendirikan sebuah NGO bernama Gerakan Bersama Rakyat pada 2007 silam.
NGO itu bergerak untuk memberikan pendampingan kepada kaum marginal dan kaum miskin kota yang tinggal di wilayah-wilayah hunian tak resmi. Selain itu juga memberikan pandangan-pandangan kritis tentang pencemaran lingkungan.
“Tahun 2004, kami bergerak menyoroti impor limbah secara ilegal yang dilakukan oleh PT APEL. Dulu banyak warga yang keracunan dari limbah yang ditimbun secara serampangan,” kata Uba.
Kasus pencemaran lingkungan lain yang menjadi sorotan adalah impor limbah secara ilegal oleh PT JOM. LSM Gebrak saat itu tak hanya mengadvokasi namun mendampingi warga cek kesehatan sebagai imbas dari penimbunan limbah itu.
Selaìn menyikapi dan mendampingi warga dari persoalan limbah, pada tahun 2007, Uba bersama LSM GEBRAK melakukan aksi penolakan kenaikan tarif air dan menuntut Otorita Batam ketika itu untuk memenuhi hak dasar atas air bagi warga miskin kota, khususnya yang rakyat yang tinggal di rumah liar (ruli).
Aksi ini menjadi fenomenal karena LSM GEBRAK melakukan aksi selama satu setengah bulan dengan mendirikan tenda di bundaran Otorita Batam ketika itu. Senandung perlawanan ‘Get Up, Stand Up’ dari Bob Marley serta puisi karya Wiji Thukul berjudul ‘Perlawanan’ pun menggema.
Pada 2010, Uba bersama Gebrak mulai mendampingi warga Baloi Kolam, yang tinggal di hunian tak resmi kawasan Baloi.

Hak atas air bersih dan listrik bagi warga yang tinggal di hunian tak resmi menjadi isu sentral perjuangan Gebrak.
“Air dan listrik merupakan bagian dari hak asasi manusia. Legalitas lahan yang dijadikan alasan oleh pemerintah saat itu tidak bisa serta merta dijadikan penghalang bagi warga untuk mendapatkan haknya,” kata dia.
Perjuangan itu membuahkan hasil setelah ribuan warga yang dikomando LSM Gebrak mengepung kantor pemerintah.
Disamping melakukan pendampingan dan aksi menuntut pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar bersama warga, Uba juga aktif berdiskusi. Diskusi ini ujar Uba, adalah untuk menjaga agar sikap kritis dan akal sehat tetap terjaga.
Beberapa nama besar di jagat politik dan kebudayaan diundang ke Batam untuk berdialog dan diskusi. Sebut saja Akbar Tanjung, Siswono Yudohusodo, Arbi Sanit, Rocky Gerung, Yudi Latif, Yusmar Yusuf, Butet Kertaredjasa, Rieke Diah Pitaloka (Oneng), dan yang lainnya.
Uba begitu terinspirasi oleh pendapat Julis Lester dari Student non-Violent Coordinating Committee (SNCC).
“Adalah tidak penting bahwa kawan seperjuangan kita, Che, telah mati. Yang penting adalah bahwa dia tetap hidup, dan itulah yang penting bagi kita semua…. Untuk menghancurkan, mereka harus menghancurkan kita semua…. yang hak-haknya dicabut; dan hal ini tidak bisa mereka lakukan,” kata Uba mengutip isi buku Revolusi Rakyat karya Che Guevara.
Sama halnya seperti Che, Uba juga memilih untuk mengawal perjuangan rakyat dari dalam sistem. Pada 2014, ia berhasil melenggang ke DPRD Kota Batam atas dukungan warga.
Selama lima tahun ia berada di parlemen tingkat kota. Perjalanan Uba di DPRD Batam pun berlangsung dinamis. Ada dukungan dan juga kritik yang dialamatkan kepadanya.
“Kritik itu saya jadikan cambuk untuk menjaga idealisme,” kata dia.
Satu periode di DPRD Batam, Uba lantas melebarkan sayap ke jenjang legislatif yang lebih tinggi yakni DPRD Provinsi Kepulauan Riau pada 2019 melalui partai yang sama yakni Partai Hanura.
Kini, ia pun kembali bersiap maju di periode berikutnya melalui Pemilu 2024. Semangat Che Guevara masih ia bersemayam kuat di dadanya.
‘Jika hatimu marah atas ketidakadilan dan penindasan, engkau adalah sahabatku!’
(dipo)
Discussion about this post