PEDOMAN-ONLINE.ID, Batam – Minggu, 3 Desember 2023 menjadi sejarah kelam bagi kegiatan alam bebas Sumatera Barat. Sebanyak 23 pendaki tewas di puncak Gunung Marapi. Mereka menjadi korban letusan gunung setinggi 2.891 meter di atas permukaan laut.
Inilah tragedi dengan korban terbanyak dalam kegiatan pendakian gunung di Indonesia. Korbannya, rata-rata anak muda yang hobi naik gunung. Mereka datang dari Padang, Sumbar, dan Pekanbaru, Riau.
Tragedi Gunung Marapi ini kemudian menjadi perdebatan di lini masa. Ada yang menyalahkan para pendaki dan ada juga menyalahkan pihak pemberi izin, BKSDA Sumatera Barat.
Pihak yang menyalahkan pendaki, menuding pendaki itu nekad naik gunung yang sudah jelas sering erupsi dan dalam status Waspada Level 2. Status ini menyiratkan, tidak boleh mendekati puncak dalam radius 3 kilo meter.
Sementara pihak yang menyalahkan BKSDA Sumatera Barat dinilai lalai mengontrol dan mengawasi pendakian di saat status gunung tidak boleh di dekati dalam radius 3 km.
Seperti diketahui, sejak bulan Juli 2023, BKSDA Sumatera Barat menerapkan pendaftaran online bagi setiap orang yang mau mendaki Gunung Marapi. Pendaftaran online harus grup, bukan per orangan. Tiap orang dipungut bayaran Rp 15.000 untuk pendakian dua hari satu malam. Pendakian hanya boleh dilakukan siang hari, mulai pukul 08.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB.
Dalam pendaftaran itu, BKSDA Sumbar tidak ada memberi warning kepada pendaki untuk tidak mendekati kawah atau mendekati puncak dalam radius 3 kilometer. Inilah yang disesali banyak orang.
Seorang pengamat kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurna mengungkapkan korban jiwa dapat dihindarkan jika pendaki mematuhi rekomendasi untuk menjaga jarak tiga kilometer dari kawah Gunung Marapi.
“Pendaki dan pihak yang seharusnya memberikan peringatan tampaknya mengabaikan SOP (standard operational procedure),” ujar Eko seperti dikutip bbc, Sabtu (9/12/2023).

Waspada Level II Sejak 2011
Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011. Adanya peningkatan aktivitas gunung pada 7 Januari 2023 menyebabkan penutupan sementara jalur pendakian.
Namun, keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat untuk membuka kembali jalur pendakian pada 24 Juli 2023, meski status tetap Waspada, memunculkan pertanyaan kritis.
Dian Indriati, PLH BKSDA Sumatera Barat, membela keputusan tersebut. Dia menyatakan pembukaan jalur pendakian karena adanya kesepakatan dengan semua pihak terkait.
Hal ini dibuktikan dengan hadirnya Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldi dalam peresmian pendaftaran online pendakian gunung marapi di Tawan Wisata Alam Marapi tanggal 24 Juli 2023 tersebut.

Sulit Diprediksi
Memang diakui, sejak Januari 2023 hingga bulan Juni 2023, tidak ada catatan peningkatan aktifitas Marapi. Minimnya aktifitas gunung itulah yang membuat BKSDA Sumbar mengizinkan kembali pendakian ke Gunung Marapi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat ketiadaan gempa vulkanik atau erupsi selama dua pekan sebelum peristiwa tersebut.
Namun, Mirzam Abdurachman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan bahwa aktivitas vulkanik Gunung Marapi “sangat sulit diprediksi” dan sulit dideteksi dini.
Sejak izin pendakian dikeluarkan pada Juli 2023, tidak tercatat aktivitas signifikan pada Gunung Marapi.
Mengenai letusan pada 3 Desember 2023, Mirzam Abdurachman menjelaskan bahwa tipe letusan Marapi sulit terdeteksi karena tidak ada pergerakan magma yang biasanya menjadi indikator. Lokasi Marapi yang berjarak sekitar lima kilometer dari sesar aktif Sumatra juga berpengaruh pada letusan yang tiba-tiba dan sulit terprediksi.
Bahkan, pada 3 Desember 2023, sejumlah pendaki yang selamat menyatakan “tidak ada tanda-tanda erupsi”.

Korban Terbanyak Ditemukan di Kawasan Cadas
Dalam proses evakuasi pada Selasa (5/12) hingga Rabu (6/12), sejumlah petugas dari tim SAR tampak menggotong kantong jenazah korban erupsi di daerah Cadas. Kawasan cadas sangat dekat dengan kawah Gunung Marapi.
Ini bisa terlihat dari foto-foto Tim SAR Gabungan saat mengevakuasi korban. Di belakang mereka, kepulan asap dari erupsi berskala kecil terlihat dengan jelas.
Korban meninggal lainnya juga ditemukan di titik-titik yang masuk dalam kawasan paling rawan bencana di Marapi, yang semestinya terlarang didatangi.
Namun nyatanya, banyak pendaki sampai ke puncak dan kawah, bahkan bermalam di sekitarnya.
Cerita Korban Selamat
Salah satu korban selamat, Irvanda Mulya, mengaku tidak diperingatkan oleh petugas di posko pendakian bahwa mereka dilarang mendekat dalam radius tiga kilometer dari puncak.
“Enggak ada diperingatkan atau aba-aba gitu,” kata Irvanda.
Kendati begitu, tambahnya, dia melihat rambu-rambu jarak aman, imbauan untuk berhati-hati, serta jalur evakuasi jika terjadi erupsi.
Pada Sabtu (2/12) malam, mereka bahkan berkemah tidak jauh dari Tugu Abel. Jika ditarik garis lurus di peta, hanya berjarak sekitar 600 meter dari kawah.
Tugu Abel sendiri merupakan monumen yang dibangun sebagai peringatan atas tewasnya seorang pendaki bernama Abel Tasman akibat erupsi Marapi pada 5 Juli 1992.
Iqbal, pendaki yang selamat lainnya juga menyatakan bahwa petugas di posko pendakian tidak memberikan peringatan langsung.
“Rambu-rambu dan jalur evakuasi ada, tetapi pemberitahuan tentang risiko erupsi kurang jelas,” ucapnya ke wartawan.
Iqbal mengetahui bahwa status Gunung Marapi ada pada level Waspada, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika gunung berapi berstatus seperti ini.
Menurutnya, tidak ada juga larangan untuk naik sampai ke puncak dan mendekati kawah.
Sepanjang perjalanan naik, Iqbal mengatakan ada rambu-rambu dan petunjuk di jalur pendakian sebelum memasuki kawasan puncak. Begitu pula dengan rambu jalur evakuasi.
Namun menurutnya, rambu-rambu yang memperingatkan soal risiko erupsi minim dan kurang jelas.
“Radius-radiusnya enggak ada, cuma diingatkan hati-hati Gunung Marapi begini [rawan erupsi],” terang Iqbal.
Begitu memasuki kawasan puncak, cadas, dan kawah Marapi, tidak ada rambu atau plang larangan.
Iqbal bahkan sempat menghabiskan waktu selama 30 menit di pinggir kawah, tepatnya pada Minggu sekitar pukul 08.30 – 09.00. Itu adalah kali pertama dia melihat langsung kawah gunung berapi.
“Tiba-tiba ada suara air mendidih gitu, seperti suara steam, agak jelas suaranya sama aku,” kata Iqbal. Namun saat itu, dia tidak tahu apakah suara itu tergolong normal atau tidak.
Setelah itu, Iqbal dan teman-temannya pun turun dari kawasan puncak. Ketika perjalanan turun, dia sempat bertemu dengan rombongan pendaki lain yang baru hendak naik ke area puncak dan kawah.

Pelajaran Penting
Tragedi ini menjadi catatan penting di akhir tahun kegiatan alam bebas. Ketidakpatuhan terhadap prosedur keselamatan tercermin dari banyaknya pendaki yang mencapai puncak dan kawah Marapi, bahkan bermalam di sekitarnya.
Meskipun papan peringatan dan larangan terpasang, sejumlah pendaki tetap mendekati kawah tanpa sepenuhnya memahami risiko yang dihadapi.nggilan keras bahwa ketidakpatuhan pada prosedur keselamatan dapat berdampak fatal.
Penting bagi para pendaki untuk memahami status gunung, mengenali tanda-tanda bahaya, dan aktif mencari informasi keselamatan sebelum menjalani petualangan mendaki gunung.
Discussion about this post