PEDOMAN-ONLINE.ID, Batam – Perempuan dalam kancah konstasi politik di Indonesia masih dianggap sebagai pelengkap. Mereka menjadi pelengkap untuk pemenuhan kuota perempuan dalam daerah pemilihan (Dapil) setiap partai.
Padahal perempuan, banyak juga yang punya kemampuan dan punya basis massa suara. Dan, pemilih terbanyak di negeri ini adalah perempuan. Tapi entah kenapa pemimpin partai hanya menempatkan perempuan dalam daftar caleg pelengkap di nomor 3 dan nomor 6.
Itulah yang dirasakan Ratnawati, aktivis perempuan yang dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk DPRD Kota Batam di Dapil 1 Lubuk Baja dan Batam Kota. Aktivis Lampu Merah ini ditempatkan PPP di daftar nomor urut 6.
“Mungkin karena saya orang baru, dan bukan kader, makanya jadi pelengkap di dapil itu,” ujar Ratnawati saat berbincang dengan Pedoman Onoine.id, Sabtu (9/12/2023) Melawa Premium, Bengkong, Batam.
Perempuan kelahiran Solok pada Juli 1979 itu memang orang baru di dunia politik. Dia pun masuk partai tanpa rencana dan kesengajaan.
“Saya diminta maju oleh teman, Ilyas, jadi tandem Pak Burhan (Burhanudin Nur, red) di Kota Batam. Kebetulan Pak Burhan maju untuk DPRD Kepri,” tutur istri Banta Azhary M.
Ratna diajukan sebagai tandem Burhanudin Nur untuk pengumpul suara di Dapil I Lubuk Baja dan Batam Kota, karena dia dianggap punya banyak massa. Sebagai aktivis sosial, dia punya banyak jaringan dan pergaulan.
Ibu dari dua anak ini memang sering dijumpai di dalam setiap bencana di Kota Batam, di Kepulauan Riau, Indonesia bahkan penggalangan dana untuk Palestina. Dia tidak akan segan-segan turun ke persimpangan lampu merah untuk menggalang dana. Bersama kawan-kawan pengamen, ojek online, mahasiswa dan perempuan aktivis lainnya dia berada di lampu merah mengumpulkan dana.
Kegiatan terakhir yang dilakukan saat pengumpulan dana Solidaritas Palestina berhasil mengumpulkan dana sebanyak Rp 140 juta.
“Pengumpulan dana itu kami lakukan dalam tiga minggu setiap Sabtu dan Minggu. Terkumpul uang sekitar Rp 140 juta. Uang itu langsung disalurkan untuk masyarakat Gaza, Palestina bersama yayasan Al Quds,” ucap Ratna.
Idealis vs Abu-abu
Sebagai aktivis sosial, Ratna mengaku dirinya idealis dan jujur. Baginya, iya itu iya dan tidak itu tidak. “Tidak bisa, Iya berubah jadi Tidak,” ungkapnya.
Saat mulai masuk ke dunia politik praktis lalu menjadi caleg, dia merasakan kegamangan. Dia melihat politik itu abu-abu, kalau tidak mau dibilang kotor.
“Tapi ternyata, setelah saya masuk sampai ke sini (mulai tahapan kampanye) kepala saya mau pecah,” ucapnya tertawa.
Apakah mungkin dia bisa melawan sistem saat duduk. Apakah mungkin dia sanggup melawan satu suara partai daripada 10 suara masyarakat.
“Saya sudah membayangkan, jika duduk nanti, kita tidak bisa berbuat sekehendak kita, karena kita sudah dalam satu sistim dalam satu partai. Pasti partai yang akan mengatur kita. Sepuluh suara dari masyarakat, satu suara dari partai, pasti partai yang akan kita ikuti. Itu khan berat.”
“Itulah kegamangan saat ini. Namun karena didukung oleh kawan-kawan di lampu merah, kawan di kegiatan sosial, saya Bismillah saja maju,” tambahnya.
Politik itu Perlu Uang
Untuk maju dalam pemilihan legislatif, Ratna mengaku tidak menyiapkan uang. Dia hanya mempercayai kepada tim relawan yang dibentuk oleh para sahabat jalanannya.
“Saya seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak yang sedang membutuhkan uang untuk pendidikan anak. Jika disuruh mengeluarkan uang puluhan juta untuk membeli suara, lebih bagus uang itu saya pakai untuk pendidikan anak,” kata Ratna.
Tapi memang tidak bisa dinafikan. Pengeluaran uang tetap ada saat berkumpul dengan para relawan atau simpatisan.
“Paling untuk sekedar makan atau minum kopi. Dan itu pun tidak banyak,” tambah Caleg PPP Dapil I Lubuk Baja dan Kota Batam nomor urut 6 ini. (denni)
Discussion about this post