‘MEMBANGUN sebuah bangsa adalah membangun sebuah peradaban’.
Kalimat di atas adalah kutipan dari Munir Said Thalib, seorang pahlawan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia yang tewas diracun di pesawat dalam perjalanan menuju Belanda pada tahun 2004.
Munir, lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965, merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Said Thalib dan Jamilah Umar Thalib.
Pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya membuka jalan bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas pergerakan, termasuk senat mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Forum Studi Mahasiswa Pengembangan Berpikir.
Setelah lulus pada tahun 1989, Munir mulai kariernya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun. Kemudian, ia kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Munir terlibat dalam menangani kasus pelanggaran HAM di era Orde Baru, termasuk pembunuhan petani di proyek Waduk Nipah dan korban penembakan di Lantek Barat. Pada tahun 1996, ia mendirikan Koordinator KIP-HAM, yang kemudian menjadi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Meski aktivitas politiknya terbatas setelah transisi politik pasca 1998, Munir tetap gigih membela keadilan HAM. Ia terlibat dalam pengungkapan kasus-kasus penting seperti penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Mei (1998), Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus Talangsari (1989), serta kasus Timor Timur pasca referendum 1999, DOM Aceh dan Papua, kerusuhan di Maluku, Kalimantan, dan Poso.
Advokasinya bersama KontraS membawa dampak besar dalam sejarah politik militer Indonesia. Munir berhasil mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa yang mengakibatkan pencopotan tiga perwira militer.
Namun, keberaniannya ini tidak tanpa risiko. Munir memiliki sejumlah musuh, terutama mereka yang masih berada dalam lingkaran kekuasaan formal negara. Meskipun begitu, ia tetap setia pada prinsip-prinsip HAM dan berusaha meningkatkan pengetahuannya dengan melanjutkan kuliah S2 di Belanda.
Sayangnya, tak lama setelah memulai perjalanan ke Belanda pada 6 September 2004, Munir tewas diracun di pesawat Garuda GA-974. Otopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda menyebutkan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dengan dosis tinggi.
Pada 18 Maret 2005, setelah penyelidikan yang intensif, Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang kru pesawat, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Mabes Polri. Spekulasi tentang keterlibatan lembaga intelijen dalam pembunuhan Munir juga mencuat, demikian dikutip dari detikcom.
Kematian Munir meninggalkan duka yang mendalam di kalangan aktivis HAM dan seluruh masyarakat Indonesia. Sementara kasusnya terus diingat sebagai salah satu tolok ukur perjuangan melawan pelanggaran HAM dan keadilan di Indonesia.
Api semangatnya tetap terjaga di dada para aktivis HAM hingga kini. Sebagaimana seuntai kalimat yang pernah diucapkan oleh Munir, ‘Aku akan tetap ada dan berlipat ganda’.
Discussion about this post