PEDOMAN-ONLINE.ID, Batam – Massa mahasiswa dari berbagai kampus di Batam menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Batam dan Kantor BP Batam pada Senin (23/12/2024).
Mereka menuntut penegakan hukum yang adil terkait insiden kekerasan dan penganiayaan terhadap warga di Kampung Sembulang, Rempang, yang menolak relokasi untuk proyek Rempang Eco City.
Aksi mahasiswa ini berlangsung dengan ketegangan tinggi, ditandai dengan orasi lantang, pembakaran ban, dan spanduk-spanduk protes. Di depan Kantor BP Batam, mahasiswa mendesak aparat hukum untuk menindak tegas pelaku penganiayaan.
“Kami di sini untuk menyuarakan keadilan bagi masyarakat Rempang yang telah menjadi korban kekerasan. Aparat seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan kepada pemodal!” seru seorang orator.
Aksi ini dipicu oleh insiden pada Selasa (17/12/2024), saat kelompok tak dikenal menyerang posko warga di Kampung Sembulang. Penyerangan tersebut melibatkan perusakan fasilitas dan kendaraan warga, bahkan dengan senjata tajam.
Koordinator Lapangan, Jamaluddin Lobang, menegaskan bahwa kekerasan ini merupakan tindakan premanisme terorganisir.
“Mereka datang dengan persiapan matang, menggunakan mobil dan motor, serta membawa senjata tajam. Kami menuntut BP Batam bertanggung jawab atas peristiwa ini,” ujarnya.
Di depan Gedung DPRD Batam, mahasiswa mengungkapkan kekecewaan karena tidak ada anggota dewan yang menemui mereka meskipun sudah menunggu lama.
“Kami datang untuk menyuarakan aspirasi rakyat, tapi anggota dewan malah bersembunyi di dalam gedung. Ini gedung rakyat, bukan milik mereka!” kata seorang orator dengan nada geram.
Mahasiswa juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap lebih mengutamakan investasi daripada hak-hak rakyat. “Investasi seharusnya membawa kebahagiaan, bukan penderitaan. Tapi yang terjadi di Rempang, rakyat dikorbankan demi kepentingan modal,” tambah orator lainnya.
Respati Hadinata, Koordinator Wilayah Sumbagut BEM SI Kerakyatan dan Presiden Mahasiswa Politeknik Negeri Batam, menyebutkan bahwa konflik di Rempang mencerminkan kapitalisme yang mengabaikan hak-hak rakyat.
“Pemerintah dan BP Batam secara terang-terangan meminggirkan masyarakat adat yang telah tinggal di sana selama ratusan tahun. Mereka dianggap penghambat pembangunan, sementara suara mereka dibungkam dengan tindakan represif,” ujar Respati.
Dengan membawa spanduk bertuliskan, “Keputusan kalian ada doa atau kutukan dari rakyat, pilihlah dengan bijak,” mahasiswa berharap suara mereka menjadi pengingat bagi pengambil kebijakan.
Meskipun aksi berlangsung tanpa kerusuhan, ketegangan tetap terasa di depan Kantor BP Batam dan DPRD Batam, yang dijaga ketat oleh barikade polisi dan Ditpam BP Batam.
Discussion about this post