PEDOMAN-ONLINE.ID – Kedatangan warga Rohingya melalui jalur laut ke Indonesia memantik sejumlah pendapat dari berbagai kalangan. Ada yang menerima, namun tak sedikit yang menolak.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI turut menyoroti hal ini. Ia bahkan menyebut, warga Rohingya yang datang bukanlah pengungsi, melainkan pendatang gelap.
Menurut Hikmahanto, seperti dilansir kumparan, istilah pengungsi merupakan istilah hukum yang memliki definisi tertentu.
Bila menilik Pasal 1 huruf A.2 dari Kovensi Pengungsi 1951 di mana Indonesia tidak meratifikasi namun diadopsi dalam Peraturan Presiden 125 Tahun 2016 maka Pengungsi didefinisikan sebagai:
“Orang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.”
Meskipun individu yang memasuki wilayah negara lain tidak secara otomatis mendapatkan status pengungsi, proses verifikasi oleh UNHCR atau otoritas keimigrasian setempat menjadi tahap kunci untuk menentukan status mereka.
Tujuan utama verifikasi adalah memastikan bahwa mereka memenuhi definisi Pasal 1 Konvensi Pengungsi, dan sekaligus memastikan mereka tidak hanya mencari kehidupan yang lebih baik atau memiliki catatan kriminal di negara asal.
Pertanyaan muncul mengenai apakah etnis Rohingya yang tiba di Indonesia telah melalui verifikasi oleh UNHCR atau Ditjen Imigrasi, yang menjadi kriteria untuk diakui sebagai pengungsi.
Jika verifikasi belum dilakukan, maka etnis Rohingya tidak dapat dikategorikan sebagai pengungsi dan tidak memperoleh hak-hak berdasarkan Konvensi Pengungsi atau Perpres 125. Meskipun dapat dianggap sebagai pencari suaka, status ini juga memerlukan verifikasi dari Ditjen Imigrasi. Namun, disayangkan bahwa ketentuan terkait pencari suaka tidak diatur secara rinci dalam Konvensi Pengungsi 1951 maupun Perpres 125.
Apabila Ditjen Imigrasi tidak melakukan verifikasi, jumlah etnis Rohingya di Indonesia tidak akan diketahui dengan jelas. Berdasarkan UU Keimigrasian, terutama Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1, etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai pendatang gelap.
Hal ini disebabkan oleh persyaratan UU Keimigrasian yang mewajibkan individu yang masuk ke Indonesia memiliki buku paspor sebagai dokumen perjalanan dan melewati pemeriksaan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Sebagai pendatang gelap, pemerintah Indonesia memiliki hak untuk mengusir atau mendeportasi etnis Rohingya.
Perlu dicatat bahwa pemerintah tidak terikat pada prinsip non-refoulement sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951. Pasal ini melarang pengembalian individu yang memiliki status pengungsi ke negara asalnya.
Oleh karena itu, karena etnis Rohingya tidak diakui sebagai pengungsi, pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan deportasi sesuai dengan regulasi yang berlaku, dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia.
Discussion about this post