PEDOMAN-ONLINE.ID, Batam – Konflik di Rempang, sebuah kawasan yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia mulai mencuat pada tahun 2023.
Perlawanan masyarakat setempat muncul menyikapi rencana pemerintah yang ingin mengembangkan kawasan tersebut menjadi kawasan industri dan pariwisata.
Masyarakat, terutama nelayan dan penduduk lokal, menentang rencana tersebut karena khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka dan dampak terhadap lingkungan serta budaya setempat.
Proyek besar ini juga melibatkan relokasi dan pembebasan lahan yang memicu protes, kerusuhan, serta ketegangan antara pihak aparat keamanan dan warga.
Konflik ini mencerminkan ketegangan antara pembangunan ekonomi dan hak-hak masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan yang diusung oleh kebijakan pemerintah.
“Berbicara soal Rempang adalah bicara soal kemanusiaan dan keadilan. Ketika ini muncul di publik, saya saat itu masih Anggota DPRD Kepri. Saya bersama Pak Taba (Taba Iskandar) menyikapi masalah ini,” kata aktivis di Kota Batam, Uba Ingan Sigalingging dalam diskusi publik bertema “Proyek Rempang Eco City: Sisi Humanisme yang Hilang”, Sabtu (18/1/2025).
Dalam konteks Rempang, Uba menganggap pemerintah paham akan aspek kultural dan investasi. Namun yang terjadi, hampir semua aspek yang berhubungan dengan aspek investasi mengabaikan aspek kultural. Masyarakat disingkirkan atas nama pembangunan dan investasi.
Menurut Uba, pembangunan secara holistik menjadikan aspek sosial budaya dalam pembangunan sebagai salah satu acuan.
“Percuma kalau membangun sementara aspek sosial budayanya tersingkir,” tegasnya.
Ia menyoroti niat baik pemerintah bertujuan soal ekonomi. Namun apa yang jadi kebijakan pemerintah ini adalah resmi dan ditopang oleh keputusan presiden terkait Proyek Srategis Nasional (PSN).
“Kebijakan ini adalah untuk kepentingan publik. Ketika kebijakan publik yang katanya untuk masyarakat kenapa tidak ada uji publik dan dialog publik? Ini aneh menurut saya. Justru yang terjadi adalah konflik yang muncul,” kata dia.
Konflik yang terjadi ini, lanjutnya, tentu memunculkan pertanyaan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentunya terkait dengan kepentingan publik.
Sehingga, Uba menegaskan kebijakan tersebut patut untuk diuji publik. Baginya, kebijakan publik yang tanpa dialog publik akan menjadi sebuah proyek dominasi, bukan partisipatif.
“Ini aneh, sebuah kebijakan terkait investasi ini yang disampaikan pemerintah sangat bagus tetapi justru masyarakat seolah-olah terasingkan. Ini menjadi hal yang berdampak pada aspek lain,” kata dia.
Sejak awal, Uba mendengar rencana PSN di Rempang sama sekali tidak melibatkan partisipasi warga yang tinggal di pulau tersebut.
Warga di Rempang dan sekitarnya yang terdampak PSN ini, mau tidak mau harus menerima. Mereka dipaksa tunduk untuk mengikuti kemauan pemerintah.
Ia berpendapat bahwa jika memang masyarakat itu pindah, harus berdasarkan kesadaran sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki nilai-nilai sosial, bukan karena aspek senjata. Uba berharap agar dialog dengan warga terdampak tetap terus dilakukan.
“Kalau karena aspek senjata, tidak bisa kita sebut kemanusiaan yang adil dan beradab,” pungkasnya.
Diskusi ini ditaja Warga Tengok Batam (WTB); sebuah organisasi muda dari mahasiswa Batam. Sedianya, aktivis HAM Haris Azhar juga dijadwalkan mengisi diskusi ini namun ia urung hadir karena kesibukan.
(rez)
Discussion about this post